RSS

In Memoriam Pak Harto, Tak Dikenal Tapi Disayang

13 Dec
Pak Harto dan Ibu Tien

Pak Harto dan Ibu Tien

Oleh : Mega Simarmata, Editor in Chief of KATAKAMI.COM & Chief of INDONESIA MILITARY WATCH

Kerinduan Pak Harto Pada Ibu Tien Yang Tak Kunjung Padam

Jakarta, Sabtu 13 Desember 2014 (KATAKAMI.COM) — Bulan depan, atau tepatnya tanggal 27 Januari 2015, adalah peringatan 7 tahun wafatnya mantan Presiden Soeharto atau Pak Harto.

Saya pribadi tidak kenal dengan Pak Harto, termasuk juga dengan Ibu Tien.

Kenal nama, tentu saya kenal.

Tidak mungkin saya tidak kenal nama besar Pak Harto dan Ibu Tien.

Secara pribadi memang tidak kenal.

Tidak pernah bicara langsung.

Pokoknya tidak kenal secara langsung.

Hari-hari menjelang Pak Harto wafat, beliau dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP).

Sebagai jurnalis, saya diikuti perkembangan sakitnya Pak Harto melalui media massa.

Dan setelah Pak Harto wafat, saya baru tersadarkan tentang satu hal yang sangat menyentuh hati.

Walaupun beliau tidak kenal langsung dengan saya, tapi beliau menyayangi saya sebagai seorang anak bangsa yang punya potensi dan harus diarahkan sesuai bakat serta kemampuan yang ada.

Bagaimana ceritanya sampai saya bisa menyimpulkan seperti ini?

Pak Harto

Pak Harto

Sebab, dari awal karier saya sebagai jurnalis, dimana karier saya itu diawali juga dari keberadaan saya sebagai penyiar radio, saya baru tersadarkan adanya pengaruh dan campur tangan Pak Harto dalam membantu.

Tahun 1993, saya reporter radio pertama dari pihak swasta (diluar RRI), yang diperbolehkan melakukan wawancara eksklusif dengan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung. Waktu itu saya masih bekerja di Radio TOP FM Jakarta, yang memiliki jaringan radio hampir diseluruh wilayah Indonesia. Salah satunya di Timor Timur. Sehingga wawancara eksklusif saya dengan Jenderal Feisal Tanjung disiarkan di Timtim.

Saya juga tidak menyangka, kok bisa-bisanya, saya yang cuma reporter muda, diberi wawancara eksklusif oleh Panglima ABRI di ruang ruang kerjanya.

Tak lama setelah saya mewawancarai Jenderal Feisal Tanjung, saya diterima bekerja sebagai penyiar, reporter dan pembawa acara talkshow di Radio Ramako (milik Keluarga Besar Bapak Sudharmono, SH).

Lima tahun saya bekerja di Radio Ramako yaitu tahun 1993-1998.

Saya sangat merasakan keistimewaan dan begitu di-anak-emaskan di Radio Ramako oleh Keluarga Besar Bapak Sudharmono, SH.

Pak Dhar, adalah tangan kanan dari Pak Harto.

Dan seingat saya, saya pun pernah mendapat tawaran untuk menjadi moderator dari sebuah acara yang diadakan Taman Buah Mekar Sari, milik Mbak Mamiek Soeharto.

Sesungguhnya saya enggan untuk mengabulkan tawaran dari Taman Buah Mekar Sari sehingga saya sengaja meminta bayaran yang tarif besar (untuk ukuran saat itu).

Ternyata permintaan saya dikabulkan.

Sayang pada saat menjelang Hari H pelaksanaan, saya harus berangkat ke Australia untuk menghadiri wisuda dari abang saya di Kota Melbourne, Australia.

Pada saat peristiwa 27 Juli 1996, saya satu-satunya reporter radio yang menyiarkan secara langsung peristiwa kerusuhan 27 Juli 1996 dari lokasi kejadian di Jalan Diponegoro.

Selama lebih dari 10 jam, saya menyiarkan kerusuhan 27 Juli secara langsung ke Radio Ramako.

Belakangan saya diberitahu oleh senior saya di Radio Ramako bahwa laporan live saya itu didengar oleh lebih dari 1 juta orang.

Informasi ini diperoleh dari sebuah lembaga survei yang melakukan banyak observasi dan suvrei terhadao rating dari radio-radio swasta.

Walaupun saat kerusuhan itu terjadi, saya sempat ikut kena tendang tentara-tentara yang bertugas untuk “mengamankan” aksi unjuk rasa, tapi saya tidak mendapat teror dari pihak ABRI.

Sebulan setelah saya meliput dan menyiarkan kerusuan 27 Juli, seorang wartawan tewas terbunuh di Yogyakarta yaitu Fuad Muhammad Syafruddin atau biasa dipanggil Udin.

Udin tewas dibunuh tanggal 16 Agustus 1996.

Sebagai wujud solidaritas sebagai sesama jurnalis, saya berinisiatif membukukan tulisan-tulisan dari Almarhum Udin menjadi sebuah buku.

Dan buku diberi judul, “Udin Darah Wartawan, Liputan Menjelang Kematian”.

Pak Harto

Pak Harto

Setelah Pak Harto wafat, barulah saya sadar bahwa apapun yang terjadi dan apapun permasalahannya, sepanjang saya mempunyai ide atau rencana tertentu, selalu ada bayangan bantuan dari Pak Harto yang beliau sampaikan melalui orang-orang terdekat dan keluarganya.

Buku kumpulan tulisan Udin, dibantu secara finansial oleh cucu Pak Harto, Ari Sigit.

Kemudian, saat persiapan peluncuran buku sedang dilakukan, terutama saat peluncuran, saya juga didukung dan dibantu oleh salah seorang pembantu Pak Harto, yaitu salah seorang Mantan Ajudan Pak Harto, Mayjen TNI (Purn) Kentot Harseno.

Bulan Maret 1998, saya (yang kebetulan kenal dengan Mas Bambang Trihatmodjo) menyampaikan keinginan saya untuk bergabung di Radio Trijaya FM, milik Mas Bambang Tri.

Seketika itu juga, Mas Bambang menelepon Peter Gontha yang sedang berada di Jepang.

Mendapat telepon dari seorang anak presiden, Pak Peter Gontha segera kembali ke tanah air karena mendapat pesan bahwa Mas Bambang ingin memasukkan seorang kawan ke Radio Trijaya.

Sampai ke urusan mempertemukan saya dan Pak Peter Gontha, serta dimana lokasi  dan jam pertemuan, semua diatur oleh Mas Bambang Tri.

Dan terkejutlah Pak Peter Gontha saat mengetahui bahwa saya cuma ingin menjadi penyiar dan reporter saya.

“Waduh, kamu jangan bikin malu saya, masak titipannya Pak Bambang, cuma ingin jadi penyiar dan reporter. Mungkin kamu mau jabatan tertentu yang lain?” tanya Pak Peter Gontha kepada saya.

“Ya Pak Peter, saya cuma mau menjadi reporter dan penyiar saja. Saya tidak mau aji mumpung” jawab saya.

Saat saya masih bekerja sebagai penyiar dan reporter di Radio Ramako, sekitar tahun 1997, saya juga mendapat pekerjaan tambahan sebagai staf khusus bidang media dari Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Wiranto.

Wiranto adalah salah seorang Mantan Ajudan Pak Harto.

Saya menjadi staf khusus Pak Wiranto sampai beliau menjabat sebagai Menkopolkam, yang kemudian diberhentikan oleh Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Dua bulan setelah saya resmi bergabung di Radio Trijaya, yaitu Mei 1998, Pak Harto lengser keprabon dan digantikan oleh Pak BJ Habibie.

Uluran tangan dan campur tangan dari Pak Harto secara pribadi dalam membantu memudahkan saya sebagai jurnalis, berakhir saat beliau berhenti dari jabatannya.

Tapi walaupun dua bulan setelah saya bergabung di Radio Trijaya FM, Pak Harto sudah turun dari jabatannya pada bulan Mei 1998, saya tetap bekerja di Radio Trijaya selama 5 tahun yaitu dari tahun 1998 sampai 2003.

Yang saya ingat saat terjadi aksi demonstrasi besar-besaran yang menuntut Pak Harto untuk mundur dari jabatannya di tahun 1998, saya diperintahkan oleh atasan saya untuk ikut mengecam Pak Harto dan Keluarga Cendana.

“Mega, kamu jangan melawan arus. Tren-nya sekarang adalah reformasi. Kita harus ikuti”, begitu kira-kira isi perintahnya.

Saya tidak mau ikut-ikutan menghujat Pak Harto.

Sebagai jurnalis, saya masih bisa melakukan peliputan dan menghasilkan berita yang jauh lebih baik, daripada sekedar caci maki dan hujatan kepada Pak Harto.

Setelah beliau wafat, saya renungkan semuanya.

Ada benang merah yang menghubungkan satu titik ke titik lainnya, dimana peran dan campur tangan Pak Harto cukup terasa dalam membantu saya.

Beliau tidak secara langsung berkomunikasi dan berinteraksi dengan saya.

Beliau menggunakan jalur militer untuk mengajari dan menanamkan ke dalam diri saya, bagaimana saya harus mencintai Indonesia dan teguh mempertahankan prinsip dan nasionalisme.

Saya meliput di jajaran militer sudah sejak tahun 1993.

Dari mulai jajaran Kodam Jaya, meningkat ke Mabes TNI Angkatan Darat, hingga akhirnya ke Mabes TNI Cilangkap dan Departemen Pertahanan.

Indonesia

Indonesia

Enam tahun yaitu antara tahun 1993 sampai 1999, saya secara total meliput kegiatan dan mewawancara tokoh-tokoh militer.

Tahun 1999 sampai 2009, selain di  TNI, saya juga meliput di Istana Kepresidenan.

Dari tahun 1993 sampai 1999 itu, setiap hari, tanpa henti, kegiatan saya adalah meliput dan melakukan wawancara di jajaran militer.

Entah ini secara kebetulan atau tidak, mayoritas dari tokoh-tokoh yang saya wawancarai dengan mudah, adalah para Mantan Ajudan dan Pengawal Pak Harto.

Dan beberapa bantuan bila saya membutuhkan, termasuk bantuan saat saya hendak membukukan tulisan-tulisan Udin, lalu yang membantu saya untuk masuk ke Radio Trijaya, itu adalah keluarga Pak Harto.

Baru setelah Pak Harto wafat, saya menyadari bahwa ternyata saya telah dibantu dan dimudahkan dalam pekerjaan saya, terutama 6 tahun terakhir Pak Harto menjabat sebagai Presiden Indonesia.

Beliau memakai orang-orang terdekatnya untuk membantu dan mengarahkan kemana saya harus melangkah untuk bisa meliput dan bekerja di jalan yang benar.

Kalau memang ingin jadi penyiar radio, jadilah penyiar radio yang handal.

Kalau memang ingin menjadi pewawancara, jadilah pewawancara yang handal.

Kalau memang ingin menjadi wartawan, jadilah wartawan yang handal.

Kalau ingin jadi penulis, jadilah penulis yang handal.

Jangan setengah-setengah.

Tetapi, jangan pernah melupakan dan melepaskan kecintaan, kebanggaan dan kesetiaan kepada Indonesia.

Itu muara dari semuanya.

Pak Harto, saya berterimakasih.

Izinkan saya mengenang, dan berterimakasih (walau sudah sangat terlambat).

Sebab walau saya tak dikenal tapi saya disayang.

Rasa sayang seorang bapak kepada seorang anak bangsa, kepada rakyatnya, tanpa pamrih.

Tabik, saya hormat.

Indonesia tanah air beta
Pusaka abadi nan jaya
Indonesia sejak dulu kala
Slalu dipuja-puja bangsa

Di sana tempat lahir beta
Dibuai dibesarkan bunda
Tempat berlindung di hari tua
Sampai akhir menutup mata

MS

 
Comments Off on In Memoriam Pak Harto, Tak Dikenal Tapi Disayang

Posted by on December 13, 2014 in News

 

Tags:

Comments are closed.